sent all friends

Update Your Status

Archives

gravatar

Pengertian Implementasi Kurikulum


Written by Munir Yusuf on February 9, 2010 

implementasi kurikulum Pengertian Implementasi Kurikulum
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasisebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 


2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum.Dalam kenyataannya, implementasi kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan perubahan.Dalam konteks implementasi kurikulum pendekatan-pendekatan yang telah dikemukakan di atas memberikan tekanan pada proses. Esensinya implementasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk mentransfer ide/gagasan, program atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum desain (tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Masing-masing pendekatan itu mencerminkan tingkat pelaksanaan yang berbeda.Dalam kaitannya dengan pendekatan yang dimaksud, Nurdin dan Usman (2004) menjelaskan bahwa pendekatan pertama, menggambarkan implementasi itu dilakukan sebelum penyebaran (desiminasi) kurikulum desain. Kata proses dalam pendekatan ini adalah aktivitas yang berkaitan dengan penjelasan tujuan program, mendeskripsikan sumber-sumber baru dan mendemosntrasikan metode pengajaran yang diugunakan.Pendekatan kedua, menurut Nurdin dan Usman (2002) menekankan pada fase penyempurnaan. Kata proses dalam pendekatan ini lebih menekankan pada interaksi antara pengembang dan guru(praktisi pendidikan). Pengembang melakukan pemeriksaan pada program baru yang direncanakan, sumber-sumber baru, dan memasukan isi/materi baru ke program yang sudah ada berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan pengalaman-pengalaman guru. Interaksi antara pengembang dan guru terjadi dalam rangka penyempurnaan program, pengembang mengadakan lokakarya atau diskusi-diskusi dengan guru-guru untuk memperoleh masukan. Implementasi dianggap selesai manakala proses penyempurnaan program baru dipandang sudah lengkap.
Sedangkan pendekatan ketiga, Nurdin dan Usman (2002) memandang implementasi sebagai bagian dari program kurikulum. Proses implementasi dilakukan dengan mengikuti perkembangan dan megadopsi program-program yang sudah direncanakan dan sudah diorganisasikan dalam bentuk kurikulum desain (dokumentasi).
In note [Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).]

...lanjutkan baca...
gravatar

Analisis Kebutuhan

Analisis Kebutuhan
Model Dan Format Analisis Kebutuhan Multimedia Pembelajaran Interaktif

Abstrak: Pembaharuan bidang pendidikan di Indonesia senantiasa dilakukan. Salah satunya dengan perbaikan dan pengembangan kurikulum berupa peluncuran KTSP. Multimedia yang secara sengaja dan kreatif dirancang untuk membantu memecahkan permasalahan pembelajaran, kiranya merupakan alternatif yang akan banyak mengambil peran dalam implementasi KTSP. Berbagai bentuk pengalaman belajar, baik yang dapat dicapai di dalam maupun di luar kelas, pesan-pesan pembelajaran, dan berbagai bentuk pengalaman belajar perlu dikemas dengan memperhatikan kaidah serta prinsip teknologi pembelajaran dalam bentuk multimedia. Agar program multimedia yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan siswa, perlu kiranya dilakukan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mendapatkan topik-topik yang akan dimultimediakan. Dalam kaitan ini, analisis kebutuhan digunakanlah alur kerja, model, dan format analisis kebutuhan. Metode yang digunakan dalam bentuk lokakarya yang melibatkan para guru bidang studi, kalangan akademisi, dan para ahli dibidang; media, teknologi pembelajaran, teknologi informasi, kurikulum, serta tim analisis dari Pustekkom. Hasil kegiatan berupa; model dan format analisis kebutuhan yang digunakan untuk mengidentifikasi topik-topik yang akan dimultimediakan melalui pengkajian kurikulum secara mendalam.

Kata Kunci: model dan format, analisis kebutuhan, multimedia pembelajaran interaktif

_________________________________
*) M. Miftah, M.Pd. adalah tenaga fungsional peneliti pada bidang pendidikan Pustekkom, Depdiknas

A. PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang
Proses belajar-mengajar atau proses pembelajaran merupakan kegiatan pelaksanaan kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya mengantarkan para siswa menuju perubahan-perubahan tingkah laku baik intelektual, moral maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang dikelola guru melalui proses pembelajaran.
Lingkungan belajar yang dikelola guru mencakup tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, metodologi pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Unsur-unsur yang biasanya dikenal dengan komponen-komponen pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa pada akhir pembelajaran yaitu, untuk menempuh berbagai pengalaman belajar. Bahan pembelajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum dan dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Metodologi pembelajaran adalah metode dan teknik yang digunakan guru untuk berinteraksi dengan siswa, agar bahan pembelajaran diharapkan dapat tercapai oleh siswa sesuai tujuan pembelajaran.
Berbicara mengenai metodologi pembelajaran berarti ada dua aspek yang paling menonjol yakni metode mengajar dan media pembelajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalah alat untuk mengukur yang dikembangkan guru, berfungsi menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran atau penguasaan kompetensi. (Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2002). Multimedia interaktif merupakan suatu program yang dapat mengkombinasikan beberapa jenis media; teks, grafik, suara, animasi, dan video dalam satu aplikasi (program) komputer. Sedangkan menurut Ade Kusnandar, multimedia terdiri dari beberapa unsur media, terintegrasi, kompak, saling mengisi, interaktif, SR, mandiri, dan self explanation (Kusnandar, 2007).
Seiring dengan perkembangan teknologi, diperlukan penyedia media yang akan mengembangkan program pembelajaran. Hasil riset telah membuktikan bahwa komputer merupakan media penyampaian materi pembelajaran yang efektif (Thompson, 1980). Agar materi pembelajaran yang disajikan melalui komputer sesuai dengan kebutuhan, maka diperlukan adanya analisis kebutuhan. Tujuan melakukan analisis kebutuhan itu sendiri adalah untuk mengetahui topik-topik materi pelajaran yang benar-benar dibutuhkan pengguna, format materi sajian yang dibutuhkan, model sajian materi pelajaran yang efektif, dan topik materi pelajaran yang tepat untuk disajikan melalui program pembelajaran berbasis multimedia. 
2.  Permasalahan dan Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini  adalah:  (a) Bagaimana model dan format analisis kebutuhan MPI ?, dan (b) Bagaimana prosedur menyusun model dan format analisis kebutuhan MPI. Adapun tujuan penulisan artikel adalah untuk berbagi pengetahuan (sharing knowledge) tentang model dan format analisis kebutuhan multimedia pembelajaran interaktif (MPI) serta prosedur langkah-langkah penyusunannya.

B. KAJIAN LITERATUR
1.  Definisi Analisis Kebutuhan dan Kurikulum
a. Pengertian Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan aktivitas ilmiah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat (kesenjangan) proses pembelajaran guna memilih dan menentukan media yang tepat dan relevan mencapai tujuan pembelajaran (goals and objectives) yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan. Analisis kebutuhan media pembelajaran dilakukan sebelum suatu media pembelajaran tertentu dirancang dan dikembangkan. Pada prinsipnya tujuan analisis kebutuhan adalah untuk mengidentifikasi topik dan media pembelajaran yang tepat dan relevan.
Uwes Chaeruman (2007) mengutip pendapat ahli yang mengatakan bahwa analisis kebutuhan adalah: “a process for identifying the knowledge and skills necessary for achieving organizational goals” (Brinkerhof & Gill, 1994). Sedangkan Molenda, Pershing, dan Reigeluth mengemukakan bahwa analisis kebutuhan adalah “a method of finding out the nature and extent of performance problems and how they can be solved” (Molenda, Pershing, & Reigeluth, 1996). Kemudian, Gupta merumuskan pengertian analisis kebutuhan sebagai “a process for pinpointing reasons for gaps in performance or a method for identifying new and future performance needs” (Gupta, 1999).
Pengertian analisis kebutuhan secara umum adalah “a systematic approach to identifying social problems, determining their extent, and accurately defining the target population to be served and the nature of their service needs” (Rossi, P. H., Freeman, H. E., & Lipsey, Mark, W. L., 1998). Secara khusus, Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa yang menjadi pertimbangan dan kajian dalam analisis kebutuhan adalah (a) kurikulum, yang meliputi pemilihan topik dan  penjabaran materi, dan (b) silabi, yang meliputi kesulitan materi, pentingnya materi, dan adanya minat khusus.
Dari pengertian tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa analisis kebutuhan multimedia pembelajaran interaktif merupakan analisis terhadap (a) tuntutan kurikulum (SKL, SK, KD, indikator), (b) kebutuhan di lapangan, (c) karakteristik sasaran, (d) potensi ICT untuk pemecahan masalah/kebutuhan pembelajaran, dan (e) trend perkembangan masa depan.
b. Kurikulum sebagai Alat Bantu Mempermudah Guru
Kurikulum pada prinsipnya dirancang untuk memudahkan proses pembelajaran. Dengan adanya kurikulum, kita dapat dengan mudah merancang dan merekonstruksi pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi anak. Dengan kata lain, situasi pembelajaran yang menyenangkan akan menimbulkan pembelajaran yang bermakna bagi anak. Dalam kaitan ini, kurikulum dimaknai sebagai “kendaraan” untuk mencapai tujuan, yaitu mengembangkan potensi setiap peserta didik (Omar Hamalik (2007).
Menurut Nasution (2006) kurikulum merupakan alat/sarana/kendaraan yang sangat penting bagai keberhasilan suatu pendidikan. Sebagai kendaraan, kurikulum bukannya dimaksudkan untuk menyeragamkan prosedur dan proses pembelajaran, karena penyeragaman prosedur dan proses mengakibatkan perlakuan yang diskriminatif kepada siswa. Prosedur dan proses yang seragam hanya akan memberi peluang dan keuntungan kepada segelintir anak yang dikategorikan “pintar” sebagaimana yang terjadi dalam proses pembelajaran di Indonesia sampai saat ini.
Agar kurikulum tidak membelenggu guru dan tidak menindas siswa, maka dalam implementasinya, kurikulum perlu dilakukan diterjemahkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Di dalam kurikulum, semua situasi dan kondisi merupakan potensi awal yang harus dipahami. Artinya, kurikulum akan mengakomodasikan segala bentuk keragaman yang ada, baik keragaman potensi individu siswa maupun keberagaman situasi dan kondisi yang mengitari kehidupan siswa sehari-hari. Inilah yang disebut dengan “curriculum for life”.
Curriculum for life adalah kurikulum yang dirancang untuk mengoptimalkan pemberdayaan potensi dalam kapasitas seseorang sebagai manusia. Menurut Johnson (1977) menyatakan bahwa kurikulum seharusnya tidak dipandang sebagai aktivitas, tetapi difokuskan secara langsung pada berbagai hasil belajar yang diharapkan (intended learning outcomes). Dalam pengertian ini, kurikulum diposisikan sebagai kerangka berpikir, program, “tools” atau kendaraan menuju hasil belajar yang diharapkan. Hasil belajar yang akan dicapai harus dilihat sebagai produk dinamis yang mendorong tumbuh-kembangnya kekuatan dan motivasi pengembangan diri selanjutnya sehingga setiap siswa mampu menghadapi segala kondisi yang dihadapi. Dalam kaitan ini, proses pembelajaran merupakan upaya memberikan pelayanan terhadap semua siswa agar berkembang secara maksimal sesuai dengan potensi yang dimiliki (Zulfikri. 2008).
c.  Implementasi Kurikulum
Beauchamp mengartikan implementasi kurikulum sebagai "a process of putting the curriculum to work" (Beauchamp, 1975).  Kemudian, Fullan (Seller dan Miller, 1985) mengartikan implementasi kurikulum sebagai "the putting into practice of an idea, program or set of activities which is new to the individual or organization using it". Pada dasarnya dapatlah dikatakan bahwa, implementasi kurikulum merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan atau melaksanakan kurikulum (dalam arti rencana tertulis) ke dalam bentuk nyata di kelas, yaitu terjadinya proses transmisi dan transformasi segenap pengalaman belajar kepada peserta didik.
Bagaimana kaitannya dengan PBK dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)? Mengacu pada asumsi bahwa kurikulum dan pembelajaran memiliki kaitan yang erat dan saling menunjang maka pembahasan mengenai model pembelajaran dalam konteks implementasi KTSP tentu tidak bisa dilepaskan dari karakteristik KTSP. Oleh karena itu, apabila KTSP memiliki karakteristik utamanya yaitu human competence dan mastery learning, maka model pembelajaran berbasis komputer atau pembelajaran yang berbasis multimedia tentu saja menjadi semakin penting peranannya. Yang paling penting adalah “seberapa jauh multimedia pembelajaran yang dikembangakan mampu memfasilitasi siswa memperoleh pengalaman belajar yang mencerminkan penguasaan kompetensi-kompetensi yang dituntut kurikulum?”
Implemetasi kurikulum dalam pengembangan program multimedia pembelajaran sebaiknya mempertimbangkan prinsip-prinsip perancangan, di antaranya (a) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa dan lingkungannya, (b) beragam dan terpadu, (c) tanggap terhadap perkembangan ilmu, teknologi dan seni, (d) relevan dengan kebutuhan hidup, (e) menyeluruh dan berkesinambungan, (f) belajar sepanjang hayat, dan (g) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Lebih lanjut Donal P. Ely (1998: 54) berpendapat bahwa suatu kurikulum dirancang lebih dari sekedar pembelajaran atau pelatihan, tetapi mampu mengorganisasikan antara pengetahuan dengan keterampilan hidup yang sesungguhnya di dalam masyarakat nyata.
Prinsip-prinsip perancangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam perancangan program multimedia dengan mengikuti prinsip pengembangan KTSP, yakni mempertimbangkan: (a) peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, (b) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, (c) keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan, (d) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (e) tuntutan dunia kerja, (f) perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, (g) agama, (h) dinamika perkembangan global, (i) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, (j) kondisi sosial budaya masyarakat detempat, (k) kesetaraan jender, dan (l) karakteristik satuan pendidikan.  Lebih lanjut Haryono (2009) berpendapat bahwa, prinsip-prinsip pembelajaran berbasis e-learning yaitu ; (a) sistem pempelajaran yang mengaplikasikan teknologi informasi superhighway, (b) dikenal dengan istilah belajar melalui internet, e-learning, online learning, virtual learning, web-based learning, dll, (c) model pembelajaran generasi ketiga yang merupakan perpaduan antara classroom oriented learning dan open space oriented learning, dan (d) model pembelajaran berbasis aneka sumber yang berorientasi pada aktivitas siswa, mengarahkan siwa untuk aktif mencari dan menemukan sendiri informasi yang diperlukan.
2. Konsep Analisis Kebutuhan MPI
a. Bentuk Pelaksanaan Analisis Kebutuhan MPI
Analisis kebutuhan dilaksanakan dalam bentuk lokakarya untuk memperoleh data tentang format identifikasi pemilihan topik-topik secara lebih mendetail sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kemediaan yang telah dipilih melalui analisis dari berbagai jurusan dan bidang ilmu. Kegiatan ini melibatkan guru dan dosen. Sistematika perumusan analisis kebutuhan diawali dengan pengarahan dan penjelasan teknis, yang dilanjutkan dengan pengenalan multimedia pembelajaran interaktif online (terhubung dengan internet) dan offline (berbasis CD Room). Untuk memberikan gambaran yang jelas, disajikan contoh program pembelajaran MPI baik  dari produk swasta maupun produk BPM/Pustekkom.
Untuk memperkaya wawasan, disajikan materi tentang karakteristik media pembelajaran, strategi pembelajaran menggunakan media, penelitian berhubungan dengan analisis kebutuhan multimedia, implementasi kurikulum KTSP (sosial dan sains) dalam multimedia, praktek penyusunan pemilihan topik-topik yang akan dimultimediakan, dan diakhiri presentasi/diskusi panel hasil pemilihan topik-topik sebagai uji empirik.
b.  Desain Pelaksanaan Analisis Kebutuhan MPI
c.  Prosedur Analisis Kebutuhan MPI
Langkah-langkah atau prosedur melakukan analisis yaitu; menentukan dan merumuskan tujuan analisis kebutuhan, menentukan target audience dan teknik cuplikan, menentukan model dan format analisis kebutuhan, menyusun topik-topik, melakukan review/uji ahli, melakukan revisi,melakukan finalisasi hasil analisis kebutuhan.
Prosedur melakukan analisis kebutuhan dapat dijelaskan sebagai berikut; (1) menentukan dan merumuskan tujuan analisis kebutuhan, yaitu dengan menentukan kesenjangan yang dilakukan dengan cara membandingkan antara kompetensi yang seharusnya dengan kompetensi yang dimiliki, (2) menentukan target audience dan teknik cuplikan, yaitu menilai signifikansi kesenjangan yang meliputi penilaian terhadap signifikansi pengaruh, luas ruang lingkup, serta peran kebutuhan tersebut terhadap masa depan peserta didik, (3) menentukan model dan format analisis kebutuhan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang diperlukan seperti; standar kompetensi, kompetensi dasar, kompetensi program, judul program, topik, kode program, dll (4) menyusun topik-topik, dengan penyajian bahasa yang sederhana namun mudah dimengerti tanpa mengurangi ketercapaian kompetensi, (5) melakukan review/uji ahli, bertujuan untuk menetapkan masalah dengan cara memilih dan memilah kebutuhan mana yang dianggap penting/diperioritaskan untuk dipecahkan dengan program multimedia. (6) melakukan revisi, sekaligus menganalisis kesalahan format dan kebutuhan topik yang lebih diperlukan oleh sasaran didik/siswa, dan (7) finalisasi dan pemanfaatan hasil analisis kebutuhan, tidak terbatas pada format yang dihasilkan lewat analisis kebutuhan, namun bisa dikembangkan komponen-komponennya melalui kegiatan lokakarya lain seperti; model dan format sajian MPI, peta konsep dan peta materi, perumusan garis-garis besar isi media (GBIM), dan jabaran materi.
d.   Pertimbangan Menganalisis Kebutuhan Multimedia Pembelajaran
Kesenjangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: 1). Keterampilan mengajar (teaching skills), 2). Media pembelajaran (instructional media), 3). Lingkungan belajar (learning environment), dan 4). Iklim belajar (learning climate).
e. Relevansi Model Analisis Kebutuhan
Relevansi analisis kebutuhan multimedia pembelajaran interaktif ini sesuai dengan sirkulasi dan konsep teknologi pembelajaran (Seels, Barbara B., 1994). Sedangkan obyek analisis kebutuhan biasanya berbeda-beda tergantung kebutuhan dan tujuan.
C. MODEL DAN FORMAT ANALISIS KEBUTUHAN MPI
1.  Menganalisis Kebutuhan Multimedia
Kebutuhan biasa dimaknai sebagai kesenjangan keadaan yang ada dengan keadaan yang seharusnya. Sedangkan masalah, adalah kesenjangan yang besar atau mendesak untuk diatasi/dipecahkan. Kebutuhan Multimedia, adalah kebutuhan yang berhubungan dengan aktivitas perancangan, pengembangan, dan pemanfaatan multimedia. Adapun sumber informasi tentang kebutuhan multimedia tersebut dapat bersumber dari pendidik/guru, peserta didik, maupun dari masyarakat.
2. Penetapan/Pemilihan Kompetensi Target
a.  Aspek Kompetensi
Untuk merumuskan aspek-aspek kompetensi secara rinci dapat dianalisis berdasarkan taksonomi tertentu:
Mukminan (2008) mengutip ahli mengatakan bahwa menganalisis kompetensi berdasarkan taksonominya menjadi tiga aspek/ranah, masing-masing dengan tingkatan secara berjenjang sebagai berikut: (a). Kompetensi pada aspek/ranah kognitif (kecerdasan), meliputi tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, (b). Kompetensi pada aspek/ranah psikomotor (gerak), meliputi keterampilan meniru, memanipulasi, ketepatan gerakan, artikulasi, dan naturalisasi, dan (c). Kompetensi  pada aspek/ranah afektif (perasaan), meliputi  pengenalan, pemberian respons, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian, dan internalisasi (Bloom dkk. 1956: 17).
Lebih lanjut Mukminan (2008) menjelaskan unsur dari kompetensi yang terdiri dari 5 macam, yaitu: (a). Kompetensi kognitif, yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian, (b). Kompetensi afektif, yang menyangkut nilai, sikap, minat, dan apresiasi, (c). Kompetensi penampilan yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik, (d). Kompetensi produk atau konsekuensi yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap pihak lain, dan (e). Kompetensi eksploratif atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman  yang mempunyai nilai kegunaan di masa depan, sebagai hasil pengiring yang positif (Hall & Jones. 1976: 48).  
b.  Prinsip Pemilihan Kompetensi
Beberapa prinsip yang mendasari pemilihan kompetensi dalam pengembangan multimedia antara lain: ilmiah, memperhatikan perkembangan dan kebutuhan peserta didik (siswa),  sistematis,  relevan, konsisten, dan cukup (adequate).
Prinsip pertama dalam pengembangan multimedia adalah bahwa multimedia disusun berdasarkan prinsip ilmiah. Mengingat multimedia berisikan garis-garis besar isi atau materi pembelajaran yang akan dipelajari oleh siswa, maka materi pembelajaran yang disajikan dalam multimedia harus memenuhi kebenaran ilmiah. Untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut, dalam penyusunan multimedia perlu melibatkan pakar/ahli di bidang keilmuan masing-masing matapelajaran.  Hal ini dimaksudkan agar materi pembelajaran yang disajikan dalam multimedia sahih (valid).
Prinsip kedua  yang melandasi penyusunan multimedia adalah perkembangan dan kebutuhan siswa. Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam multimedia disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Misalnya materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa kelas satu berbeda dengan materi yang diberikan kepada siswa kelas dua maupun kelas tiga, baik mengenai cakupan dan kedalaman, maupun urutan penyajiannya. 
Prinsip ketiga yang melandasi penyusunan multimedia adalah prinsip sistematis. Oleh karena itu, silabus dianggap sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, multimedia merupakan satu kesatuan yang mempunyai tujuan, yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan.
Prinsip keempat dalam penyusunan multimedia adalah prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan antara standar kompetensi, kompetensi program media. Relevan berarti ada keterkaitan. Konsisten berarti taat azas. Hubungan antara komponen-komponen multimedia harus taat azas. Sedangkan adequate berarti cukup atau memadai. Prinsip adekuasi mensyaratkan agar cakupan atau ruang lingkup materi yang dipelajari siswa cukup memadai untuk menunjang tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang pada akhirnya membantu tercapainya standar kompetensi.

c. Jenis Kompetensi
Jenis kompetensi yang harus dikuasai ditentukan menyesesuaikan dengan jenis materi sebagai wahana untuk penguasaan kompetensi, apakah berupa: fakta, konsep, prinsip, atau prosedur, dengan ciri masing-masing sbb.:
Jenis materi berupa fakta
Kata kunci: Nama, jenis, jumlah.
Contoh: Jenis-jenis binatang memamah biak, tanaman berbiji tunggal, nama-nama bulan dalam setahun.
Jenis materi berupa konsep
Kata kunci: definisi, klasifikasi, identifikasi, ciri-ciri
Contoh : Bujursangkar ialah empat persegi panjang yang keempat sisinya sama panjang
Jenis materi berupa prinsip
Kata kunci: Hubungan, sebab-akibat, jika....maka… .
Contoh : Jika permintaan naik, sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik.
Jenis materi berupa prosedur
Kata kunci: Langkah-langkah mengerjakan tugas secara urut/prosedural
Contoh: Cara mengukur suhu badan menggunakan termometer, cara menelepon.
d. Urutan Penyajian
Untuk menentukan urutan penyajian materi/kompetensi dapat digunakan model Struktur Kompetensi dari Dick dan Carey (2005: 60) apakah: hirarkhikal, prosedural, pengelompokan, ataukah kombinasi.
? Struktur Hirarkhikal
? Struktur Prosedural
Adalah kedudukan beberapa kompetensi yang menunjukkan satu rangkaian pelaksanaan kegiatan/pekerjaan, tetapi antar  kompetensi tersebut tidak menjadi prasyarat untuk kompetensi lainnya
Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
? Struktur Pengelompokan (Cluster)
? Struktur Kombinasi
3. Prosedur Melakukan Identifikasi Kebutuhan Topik Media
Sedangkan cara-cara yang ditempuh dalam mengidentifikasi kebutuhan topik multimedia sebagai berikut:
1)  menulis standar kompetensi yang ada dalam satu mata pelajaran, dan
2)  melakukan analisis dengan cara: (a) menyeleksi kompetensi-kompetensi dasar yang relevan untuk dimediakan, (b) menentukan kompetensi-kompetensi program multimedia, (c) menggambarkan hubungan antar kompetensi program media dalam bentuk bagan, (d) memberi nomor setiap kompetensi program media, dimulai dari kompetensi yang paling awal (dimulai dengan nomor 1) secara berurutan sampai dengan kompetensi yang terakhir, dan (e) memberi tanda panah pada setiap kompetensi dimulai dari kompetensi yang paling rendah ke kompetensi yang lebih tinggi.
3)  Menuliskan judul program multimedia berdasarkan kompetensi program media.
4)  Menentukan versi/jenis untuk program tertentu, baik online (berbasis web) dan offline (berbasis CD room).
5) Menentukan kode program multimedia.
Untuk memudahkan cara menganalisis sebaiknya ditentukan prioritas dan urutan kompetensi yang dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini.
Keterangan:
•  KT   : Kompetensi Target
•  1, 2, 3, dst. : Kompetensi-kompetensi Program Media
Gambar 6: menentukan perioritas dan urutan kompetensi

4. Perancangan Multimedia
a. Perancang Multimedia
Tim yang terlibat dalam proses perancangan multimedia setidaknya mencakup; (a). Penanggung jawab program atau team leader (TL), (b). Pengembang program; animator, programmer, ilustrator/design grafis, dan penata suara, (c). Penulis naskah, (d) Pengkaji media, (e) Pengkaji bahasa, dan (f) Ahli materi.
b. Prinsip-prinsip Perancangan Program Multimedia
Perancangan program multimedia dilakukan dengan mengikuti prinsip pengembangan KTSP, yakni: (a). Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (b). Beragam dan terpadu, (c). Tanggap terhadap perkembangan ilmu, teknologi dan seni, (d). Relevan dengan kebutuhan kehidupan, (e). Menyeluruh dan berkesinambungan, (f). Belajar sepanjang hayat, dan (g). Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
c.  Pertimbangan dalam Perancangan Program Multimedia
Perancangan program multimedia juga dilakukan dengan mengikuti mengikuti prinsip pengembangan KTSP, yakni mempertimbangkan: (a). Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, (b). Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, (c). Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan, (d). Tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (e). Tuntutan dunia kerja, (f). Perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, (g). Agama, (h). Dinamika perkembangan global, (i). Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, (j). Kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (k). Kesetaraan jender, dan (l). Karakteristik satuan pendidikan.
d.  Komponen untuk Menyusun Format Kebutuhan Multimedia
Komponen untuk menyusun format kebutuhan multimedia yaitu: standar kompetensi, kompetensi dasar, kompetensi program multimedia, judul program multimedia, topik, penentuan jenis program, dan kode program multimedia dapat dilihat pada gambar 7 berikut
Format identifikasi kebutuhan program multimedia
Satuan Pendidikan : ....................................................................................................................
Mata Pelajaran : ………….....………................................................................………………
Kelas/Semester  :……...…………/ .............................................................................…...…
Standar Kompetensi*) : ..……………………………………………………………………….……..…
Kompetensi Dasar Kompetensi Program Media Judul
Program Media
Topik Versi
Online/ Offline Kode  Program
    
Pertimbangan untuk penyusunan format analisis kebutuhan multimedia dengan penjelasan sebagai berikut; (1) standar kompetensi, sebaiknya mengikuti standar ISI/kurikulum nasional yang sedang berlaku, karena pada akhirnya program diperuntukkan/diimplementasikan secara nasional. Jika standar kompetensi yang digunakan adalah lokal/sekolah tertentu, maka program belum memenuhi syarat kebutuhan media itu sendiri,  (2) kompetensi dasar, setidaknya mencakup minimal satu kompetensi dasar yang dipakai dalam produksi media, di mana rumusan kompetensi harus sesuai kurikulum yang berlaku, (3) kompetensi program media, berdasarkan pada kompetensi dasar yang ada pada kurikulum. Kompetensi program media bersifat lebih sederhana dan praktis dengan cara menggabungkan/merger dari kompetensi dasar yang memiliki kesamaan/hubungan,  (4) judul program media, tidak saklek/monoton sebagaimana pada rumusan silabus tapi bisa dibuat lebih menarik, jelas dan singkat tanpa meninggalkan tujuan dari desain pembelajaran yang telah ditentukan pada garis-garis besar isi media (GBIM),  (5) topik, bersifat luas tanpa meninggalkan substansi dari kompetensi/indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran, dan (6) kode program media, dapat memberikan kemudahan dalam identifikasi/pengelompokan program tertentu jika dicari/dibutuhkan oleh user. Istilah pengkodean, baik berupa; bidang studi, tahun produksi, jenjang, dan lain-lain dapat disingkat, misal; fisika disingkat FIS. SMP. 2009, dan seterusnya. 
e. Sumber Materi Program Media
Berbagai sumber bahan untuk mengembangkan program media a.l.: 1). Kurikulum, 2). Buku teks, 3). Laporan hasil penelitian, 4). Jurnal, majalah, koran, 5). Media audiovisual, internet, 6). Pakar bidang studi, 7). Profesional, dan 8). Lingkungan (alam, sosial, seni budaya, industri, kegiatan ekonomi, dll.)

D. SIMPULAN DAN SARAN
1.  Simpulan
Model dan format analisis kebutuhan multimedia setidaknya mencakup aspek-aspek berikut ; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) kompetensi program media, (4) judul program media, (5) topik, dan (6) kode program media.
Langkah-langkah atau prosedur melakukan analisis kebutuhan yaitu; (1) menentukan dan merumuskan tujuan analisis kebutuhan, (2) menentukan target audience dan teknik cuplikan, (3) menentukan model dan format analisis kebutuhan, (4) menyusun topik-topik, (5) melakukan review/uji ahli, (6) melakukan revisi, dan (7) finalisasi dan pemanfaatan hasil analisis kebutuhan.
2. Saran
Penyusunan model dan format analisis kebutuhan multimedia memerlukan aspek-aspek yang mampu mencerminkan karakteristik sebagai media pembelajaran, antara lain; (1) mengintegrasikan berbagai bentuk materi seperti: teks, gambar, grafis, dan suara yang dioperasikan dengan komputer, (2) bermanfaat bagi siswa, dalam: mendorong rasa ingin tahu siswa, mendorong keinginan untuk mengubah sesuatu yang sudah ada, dan mendorong keinginan siswa untuk mencoba hal-hal yang baru, dan lain-lain. Jika tiap aspek dalam penyusunan model dan format analisis kebutuhan MPI dapat terpenuhi dengan baik, maka dimungkinkan tercipta suatu syarat pengembangan media pembelajaran ; mudah dilihat, menarik, sederhana, isinya bermanfaat, benar (dapat dipertanggungjawabkan), masuk akal/sah, dan terstruktur.

Keberhasilan pengembangan multimedia pembelajaran interaktif sangat tergantung pada pencapaian analisis kebutuhan model dan format MPI, di mana analisis kebutuhan menjadi tolak ukur dan dasar bagi langkah selanjutnya dalam proses pengembangan MPI. Oleh karena itu, analisis kebutuhan memerlukan prosedur yang benar dan ilmiah. Selain itu, analisis kebutuhan MPI diperlukan sejumlah prasyarat dari semua pihak dan perlu memiliki komitmen; memahami peran dan fungsi multimedia secara benar, memiliki dokumen pendukung yang memadai, mampu & mau memanfaatkan secara benar, serta jujur. Sehingga diharapkan dengan multimedia pembelajaran interaktif (MPI) dapat menunjukkan fungsi dan perannya yang optimal dalam keberhasilan pembelajaran siswa. Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan segera terwujud dan media sebagai perwujudan dari teknologi pembelajaran, mampu mengantarkan anak-anak bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata bangsanya maupun di mata internasional.

DAFTAR  PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2007). Penyusunan Instrumen untuk Analisis Kebutuhan  Online dan Offline. Disampaikan dalam kegiatan lokakarya penyusunan instrumen analisis kebutuhan MPI 2007 pada tanggal 27 Maret 2007. Semarang: BPM Semarang
Beauchamp, G. (1975). Curriculum Theory. Willmette, Illionis: The Kagg Press.
Dick, Walter, Lou Carrey and James O Carey. (2005). The Systematic Design of Instruction. Boston: Pearson, Allyn and Bacon.
Donald P. Ely. (1998). The Evolution of Instructional Design & Development: The Syracuse Program at Fifty. Syracuse University: Printed by the Center for Support of Teaching and Learning
Haryono. (2009). Pemanfaatan Multimedia untuk Pembelajaran. Disampaikan dalam kegiatan lokakarya validasi instrumen ujicoba program MPI  pada tanggal 24 Februari 2009. Semarang: BPM Semarang
Kusnandar,  Ade. (2007). Analisis Kebutuhan Multimedia Pembelajaran Interaktif. Disampaikan dalam kegiatan lokakarya penyusunan instrumen analisis kebutuhan MPI 2007 pada tanggal 27 Maret 2007. Semarang: BPM Semarang.
Johnson, Mauriz. (1977). Internationality in Education . New York: Center for Curriculum Research and Services.
Mukminan. (2008). Menganalisis Kebutuhan Multimedia. Disampaikan dalam Kegiatan Analisis Kebutuhan MPI 2007 pada tanggal 18 Februari 2008. Semarang: BPM Semarang.
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2002). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Nasution. (2006). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Oemar Hamalik. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Seels, Barbara, B. (1994). Instructional Technology: The definition and domains of the field. Washington DC: Association For Educational Communications and Technology.
Seller dan Miller. (1985). Curriculum; Perspectives and Practice. New York: Longman.
Thompson, B.J. 1980. Computers in Reading: A Review of Application and Implications. Educational Technology. XX (8): 38-41
Uwes Charumen. (2007). Analisis Kebutuhan Multimedia Pembelajaran. Disampaikan dalam kegiatan lokakarya penyusunan instrumen analisis kebutuhan MPI 2007 pada tanggal 27 Maret 2007. Semarang: BPM Semarang.
Zulfikri. (2008). Menciptakan  Layanan terhadap Peserta Didik dalam Upaya Membangun Karakter  Setiap  Individu Siswa. Disampaikan dalam kegiatan analisis kebutuhan MPI 2008 pada tanggal 18 Februari 2008. Semarang: BPM Semarang.

...lanjutkan baca...
gravatar

23 Tip Windows

23 Cara Mempercepat Windows Xp

1. Untuk mengurangi suatu waktu boot sistem dan meningkatkan performa sistem, gunakan uang yang Anda simpan dengan tidak membeli perangkat lunak defragmentasi - built-in Windows Defragmenter bekerja dengan baik - dan bukannya komputer melengkapi dengan Ultra-133 atau Serial ATA hard drive dengan 8-MB cache buffer.

2. Jika PC memiliki kurang dari 512 MB RAM, menambahkan lebih banyak memori. Ini adalah relatif murah dan mudah meng-upgrade yang dapat secara dramatis meningkatkan kinerja sistem.

3. Memastikan bahwa Windows XP menggunakan sistem file NTFS. Jika Anda tidak yakin, inilah cara untuk memeriksa: Pertama, klik ganda ikon My Computer, klik kanan di C: Drive, kemudian pilih Properties. Selanjutnya, memeriksa File System type; jika dikatakan FAT32, maka back-up data penting apapun. Selanjutnya, klik Mulai, klik Jalankan, ketik CMD, kemudian klik OK. Pada prompt, ketik CONVERT C: / FS: NTFS lalu tekan tombol Enter. Proses ini mungkin memerlukan beberapa saat; sangat penting bahwa komputer akan terganggu dan bebas dari virus. Sistem file yang digunakan oleh bootable drive bisa FAT32 atau NTFS. Saya sangat merekomendasikan untuk menggunakan NTFS demi keamanan superior, reliabilitas, dan efisiensi dengan disk drive yang lebih besar.

4. File Nonaktifkan pengindeksan. Layanan pengindeksan mengekstraksi informasi dari dokumen-dokumen dan file lainnya pada hard drive dan menciptakan sebuah "indeks kata kunci dicari." Seperti yang dapat Anda bayangkan, proses ini dapat menjadi sangat memberatkan sistem.

Idenya adalah bahwa pengguna dapat mencari kata, frase, atau properti sebuah dokumen, seharusnya mereka memiliki ratusan atau ribuan dokumen dan tidak tahu nama file dokumen yang mereka inginkan. Windows XP's built-in fungsi pencarian masih bisa melakukan berbagai macam jenis pencarian tanpa melibatkan Indexing Service. Tapi agak lebih lama. Sistem Operasi harus membuka tiap file pada saat diminta tolong mencari apa yang user cari.

Kebanyakan orang tidak membutuhkan fitur pencarian ini. Mereka yang melakukan biasanya di lingkungan perusahaan yang besar dimana ribuan dokumen diletakkan pada paling tidak satu server. Tetapi jika Anda hanya semacam system builder, yang kebanyakan kliennya adalah bisnis kecil dan menengah. Dan jika para klien tidak membutuhkan fitur pencarian ini, saya sarankan nonaktifkan.

Begini caranya: Pertama, klik ganda ikon My Computer. Selanjutnya, klik kanan di C: Drive, kemudian pilih Properties. Hapus tanda centang "Allow Indexing Service to index disk ini untuk mencari file dengan cepat." Selanjutnya, menerapkan perubahan ke "C: subfolder dan file," dan klik OK. Jika pesan peringatan atau error muncul (seperti "Access is denied"), klik tombol Abaikan Semua.

5. Update PC chipset video dan motherboard driver. Juga, update dan mengkonfigurasi BIOS. Untuk informasi lebih lanjut tentang cara mengkonfigurasi BIOS anda dengan benar, lihat artikel ini di situs saya.

6. Empty the Windows Prefetch folder setiap tiga bulan atau lebih. Windows XP dapat "prefetch" porsi data dan aplikasi yang sering digunakan. Hal ini membuat proses load kelihatan lebih cepat ketika dipanggil oleh user. That's fine. Namun seiring waktu, folder prefetch bisa jadi kelebihan muatan referensi file dan aplikasi yang tidak lagi digunakan. Ketika itu terjadi, Windows XP akan membuang-buang waktu dan memperlambat kinerja sistem, dengan pra-beban mereka. Tidak ada yang penting dalam folder ini, dan seluruh isinya aman untuk dihapus.

7. Sekali sebulan, jalankan disk cleanup. Begini caranya: Klik dua kali ikon My Computer. Kemudian klik kanan pada drive C: dan pilih Properties. Klik tombol Disk Cleanup - itu hanya untuk di sebelah kanan Kapasitas grafik pie - dan menghapus semua file temporer.

8. Dalam Device Manager, klik ganda pada IDE ATA / ATAPI Controllers device, dan pastikan DMA diaktifkan untuk setiap drive Anda telah tersambung ke controller Dasar dan Menengah. Lakukan ini dengan mengklik ganda pada Primary IDE Channel. Kemudian klik tab Pengaturan Lanjutan. Pastikan Transfer Mode diset ke "DMA if available" untuk kedua Device 0 dan Device 1. Kemudian ulangi proses ini dengan Secondary IDE Channel.

9. Upgrade pengkabelan. Sebagai hard-drive meningkatkan teknologi, pengkabelan persyaratan untuk mencapai kinerja ini meningkatkan menjadi lebih ketat. Pastikan untuk menggunakan 80-wire Ultra-133 kabel pada semua perangkat IDE anda dengan benar konektor yang diberikan untuk pencocokan Master / Slave / Motherboard sockets. Sebuah perangkat harus berada pada ujung kabel; menghubungkan satu drive ke konektor di tengah kabel pita sinyal akan menyebabkan masalah. Dengan Ultra DMA hard drive, masalah sinyal ini akan mencegah perjalanan dari kinerja pada potensi maksimumnya. Juga, karena pada dasarnya kabel ini mendukung "kabel pilih," lokasi masing-masing drive pada kabel penting. Untuk alasan ini, kabel dirancang sehingga posisi drive secara eksplisit jelas.

10. Hapus semua spyware dari komputer. Gunakan program gratis seperti AdAware by Lavasoft atau SpyBot Search & Destroy. Setelah program ini terinstal, pastikan untuk memeriksa dan mendownload update sebelum memulai pencarian Anda. Menemukan sesuatu program baik dapat dibuang dengan aman. Setiap perangkat lunak bebas yang membutuhkan spyware untuk dijalankan tidak akan lagi berfungsi setelah spyware sebagian telah dihapus; jika pelanggan Anda benar-benar ingin program meskipun mengandung spyware, cukup menginstalnya kembali. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Spyware menghapus mengunjungi Web Pro News page.

11. Hapus semua program yang tidak perlu dan / atau item dari Windows Startup rutin menggunakan utilitas msconfig. Begini caranya: Pertama, klik Mulai, klik Jalankan, ketik msconfig, dan klik OK. Klik tab StartUp, kemudian hapus tanda centang setiap item yang tidak ingin memulai ketika Windows mulai. Tidak yakin apa yang item? Kunjungi WinTasks Process Library. Berisi diketahui proses sistem, aplikasi, serta referensi spyware dan penjelasan. Atau dengan cepat mengidentifikasi mereka dengan mencari nama file menggunakan Google atau mesin pencari Web lain.
12. Hapus semua program yang tidak perlu atau tidak digunakan dari Add / Remove Programs bagian Control Panel.

13. Matikan setiap dan semua animasi yang tidak perlu, dan menonaktifkan desktop aktif. Bahkan, untuk performa yang optimal, matikan semua animasi. Windows XP menawarkan banyak pengaturan yang berbeda di daerah ini. Berikut adalah cara melakukannya: Pertama klik pada ikon System dalam Control Panel. Selanjutnya, klik pada tab Advanced. Pilih tombol Settings yang terletak di bawah Performance. Jangan ragu untuk bermain-main dengan opsi-opsi yang ditawarkan di sini, seperti apa pun yang Anda dapat mengubah akan mengubah keandalan dari komputer - hanya yang responsif.

14. Jika pelanggan Anda adalah pengguna tingkat lanjut yang nyaman mengedit registri mereka, cobalah beberapa registry tweak performa yang ditawarkan di Tweak XP.

15.) Kunjungi Microsoft Windows update situs secara teratur, dan men-download semua update yang berlabel Critical. Download juga Optional update yang dibutuhkan.

16. Update pelanggan software anti-virus mingguan, bahkan harian, dasar. Memastikan mereka hanya memiliki satu anti-virus paket perangkat lunak diinstal. Mixing software anti-virus adalah cara pasti untuk mengeja bencana untuk kinerja dan kehandalan.

17. Pastikan pelanggan memiliki kurang dari 500 jenis font yang terinstall pada komputer mereka. Semakin banyak font yang mereka miliki, semakin lambat sistem akan menjadi. Sementara Windows XP menangani font jauh lebih efisien daripada versi sebelumnya Windows, terlalu banyak font - yaitu, apa pun lebih dari 500 - akan terasa sistem pajak.

18. Jangan partisi hard drive. Windows XP dengan sistem file NTFS berjalan lebih efisien pada satu partisi yang besar. Data tidak lebih aman pada partisi terpisah, dan memformat ulang tidak pernah diperlukan untuk menginstal ulang sistem operasi. Alasan yang sama orang yang menawarkan untuk menggunakan partisi yang berlaku untuk menggunakan folder sebagai gantinya. Sebagai contoh, daripada meletakkan semua data pada drive D:, taruh dalam sebuah folder bernama "D drive." Anda akan mencapai organisasi yang sama manfaat yang menawarkan partisi terpisah, tapi tanpa degradasi kinerja sistem. Juga, ruang bebas Anda tidak akan dibatasi oleh ukuran partisi, melainkan akan dibatasi oleh ukuran dari seluruh hard drive. Ini berarti Anda tidak perlu untuk mengubah ukuran partisi apapun, selamanya. Tugas yang dapat memakan waktu dan juga dapat mengakibatkan hilangnya data.

19. Periksa sistem RAM untuk memastikan beroperasi dengan benar. Saya sarankan menggunakan program bebas yang disebut memtest86. Download akan membuat bootable CD atau disket (pilihan anda), yang akan menjalankan tes 10 ekstensif pada memori PC secara otomatis setelah anda boot ke disk yang Anda buat. Biarkan semua tes berjalan sampai paling tidak tiga lewat dari 10 tes selesai. Jika program menemukan kesalahan, matikan dan cabut komputer, menghapus tongkat memori (dengan asumsi Anda memiliki lebih dari satu), dan menjalankan tes lagi. Ingat, ingatan buruk tidak dapat diperbaiki, tapi hanya diganti.

20. Jika PC memiliki CD atau DVD recorder, memeriksa drive situs Web produsen untuk update firmware. Dalam beberapa kasus, Anda akan dapat meng-upgrade perekam untuk kecepatan yang lebih cepat. Terbaik dari semua, it's free.

21. Nonaktifkan layanan yang tidak perlu. Windows XP beban banyak layanan yang pelanggan Anda kemungkinan besar tidak perlu. Untuk menentukan layanan yang Anda dapat menonaktifkan untuk klien Anda, kunjungi situs Black Viper untuk konfigurasi Windows XP.

22. Jika Anda bosan dengan satu jendela Windows Explorer menabrak dan kemudian mengambil sisa OS anda ke bawah dengan hal itu, kemudian ikuti tip ini: buka My Computer, klik Tools, lalu Folder Options. Sekarang klik pada tab View. Gulir ke bawah untuk "jendela folder Luncurkan dalam proses terpisah," dan aktifkan opsi ini. Anda harus reboot mesin anda untuk pilihan ini akan berlaku.

23. Setidaknya sekali setahun, buka komputer kasus dan meniup semua debu dan kotoran. Sementara kau di sana, periksa bahwa semua para penggemar akan kembali dengan benar. Juga memeriksa kapasitor motherboard untuk menggelembung atau kebocoran.

...lanjutkan baca...
gravatar

Al-Quran

...lanjutkan baca...
gravatar

Makalah Read

Pengembangan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini Melalui Metode Glenn Doman


Pendahuluan
Persoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas”, kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermainedukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Perkembangan keterampilan membaca
Belajar membaca mencakup pemerolehan kecakapan yang dibangun pada ketrampilan sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada lima tahapan dalam perkembangan kemampuan membaca, dimulai dari ketrampilan pre-reading hingga ke kemampuan membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa.
Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam alfabet. Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat “membaca” beberapa kata, seperti “Pepsi”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.” Kemampuan mereka untuk mengenali simbol-simbol populer ini  karena seringnya melihat di televisi atau pun di sisi jalan serta meja  makan. Hal ini  mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan antara pola huruf, meskipun belum dapat mengerti  kata itu sendiri. Pengetahuan anak-anak tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa generasi sebelumnya, hal ini  dikarenakan  pengaruh acara televisi anak seperti “Sesame Street.”
Tahap1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan simbol-simbol ke dalam suara dan kata-kata.  Kemampuan ini  diikuti dengan tahap kedua pada kelas dua dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca dengan fasih. Di akhir kelas tiga, kebanyakan anak sekolah sudah menguasai hubungan dari huruf-ke-suara dan dapat membaca sebagian besar kata dan kalimat sederhana yang diberikan.
Perubahan dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai dalam tahap 3, dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8. Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan informasi dari materi tertulis, dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak di kelas ini diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “ how to” membaca ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk kelas selanjutnya   bisa terhambat.
tahap 4, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan  kemampuan baca yang sangat fasih.  Anak menjadi semakin dapat memahami beragam materi bacaan  dan menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca.
Emergent Literacy
Kendati kebanyakan anak belajar membaca di sekolah, namun sebagian besar anak belajar tentang membaca di rumah. Mereka belajar  simbol tertulis  sesuai dengan bahasa tutur ketika menyampaikan arti kepada orang lain.
Tapi kebanyakan anak pra-sekolah tidak membaca—tidak benar benar membaca. Mereka mungkin dapat mengidentifikasi Coca-Cola, Burger King, atau tanda Fruit Loops ketika melihatnya, tapi ini bukan benar-benar membaca. Kendati demikian, apa yang dipelajari anak selama berbicara dengan  orangtua tadi adalah kemampuan  menyusun tahap membaca yang sebenarnya. Gagasan bahwa ada kontinum perkembangan kemampuan membaca, dari anak usia pra-sekolah hingga yang sudah menjadi pembaca fasih, dikatakan sebagai emergent literacy.
Whitehurst dan Lonigan (199 mencatat sembilan komponen emergent literacy, sebagai berikut.
1.      Language: membaca  merupakan kemampuan bahasa, dan anak-anak harus cakap dengan bahasa tutur. kemampuan membaca yang terampil juga memerlukan lebih dari sekedar kecakapan bahasa tutur. Membaca tidak berarti refleksi bahasa tutur, di mana anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan kemampuan membaca yang juga baik.
2.      Convention of print: anak-anak yang dipaparkan kepada pembacaan di rumah melalui penemuan cetak. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, anak-anak belajar bahwa membaca dilakukan dari kiri kek kanan, atas ke bawah, dan dari depan ke belakang.
3.      Knowledge of letters: Kebanyakan anak-anak dapat menceritakan ABC  sebelum mereka masuk ke sekolah dan dapat mengidentifikasi individu huruf dari alphabet (kendati beberapa anak berpikir “elemeno” adalah nama huruf antara “k” dan “p”. pengetahuan huruf sangat kritis bagi kemampuan baca. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan anak taman kanak-kanak untuk menamai huruf memprediksikan nilai  yang dapat diraihnya pada kemampuan membaca di kemudian hari.
4.      Linguistic awareness; anak harus belajar mengidentifikasi tidak saja huruf melainkan unit linguistik, seperti fonem, silabel, dan kata. Mungkin yang paling penting dari kemampuan linguistik untuk membaca adalah pengolahan fonologi, atau diskriminasi dan mengartikan berbagai suara bahasa.
5.      Korespondensi phoneme-grapheme: Ketika anak sudah memahami bagaimana mensegmentasikan dan mendiskriminasikan beragam suara bahasa, maka mereka harus mempelajari bagaimana suara ini sesuai dengan huruf tertulis. Kebanyakan proses ini dimulai di masa pra-sekolah, di mana pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis berkembang secara simultan dan resiprok.
6.      Emergent reading: banyak anak-anak pura-pura membaca. Mereka akan mengambil buku cerita yang sudah akrab bagi mereka dan “membaca” halaman per halamannya,  atau akan mengambil buku yang belum akrab bagi mereka dan pura-pura membaca, membuat narasi sesuai dengan gambar di halaman tersebut.
7.      Emergent writing: Sama dengan pura-pura membaca, anak-anak juga sering berpura-pura menulis, membuat garis lekuk (squiggle) pada sebuah halaman untuk “menuliskan” nama atau cerita mereka, atau merangkai huruf yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang menurut mereka sesuai dengan cerita.
8.      Motivasi print: seberapa tertariknya anak-anak dalam membaca dan menulis? Seberapa pentingkah bagi mereka untuk memahami kode rahasia yang memungkinkan orangtua mengartikan serangkaian tanda pada sebuah halaman? Beberapa bukti mengindikasikan bahwa anak kecil lebih  tertarik dalam print(huruf cetak) dan membaca memiliki skill emergent literacy yang lebih besar ketimbang yang kurang termotivasi untuk melakukannya. Anak-anak yang tertarik dalam membaca dan menulis lebih mungkin mengetahui huruf cetak, mengajukan pertanyaan tentang print, mendorong orang dewasa untuk membacakannya untuk mereka, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca ketika mereka sudah bisa.
9.      Other Cognitive Skill: Kemampuan kognitif individu, di samping yang berkaitan dengan bahasa dan kesadaran linguistik mempengaruhi kemampuan baca anak-anak. Berbagai aspek lain  memori sangatlah penting di sini yang juga ikut mempengaruhi kemampuan membaca.
Hubungan antara beberapa komponen emergent literacy  dengan kemampuan baca terkadang sulit dijelaskan. Namun demikian, jelas halnya bahwa keluarga  memberikan “The Whole Package”. Munculnya keterampilan emergent literacykepada anak-anaknya akhirnya anak akan membantu nantinya untuk memiliki  kemampuan yang baca  lebih baik baik di awal sekolah maupun di kemudian hari,  daripada keluarga yang hanya memberikan paket sedikit-sedikit (Bialystok, 1996; Whitehurst & Lonigan, 1998). Ini dibenarkan dengan penelitian sebelumnya  yang melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemampuan emergent literacy selama masa pra sekolah dengan kemampuan membaca di sekolah dasar (Lonigan, Burgess, & Anthony, 2000; Storch & Whitehurst, 2002).
Kemampuan membaca dan perkembangan kognitif
Phonemic awareness,  adalah salah satu skill yang dapat memprediksikan  kemampuan membaca di kemudian hari,  Phonemic awareness adalah pengetahuan tentang huruf yang dapat dipisahkan dari suara. ‘kesadaran ini belum muncul pada anak-anak prescholl. Penelitian telah menunjukkan bahwa sensitivitas anak-anak terhadap ritme akan berujung pada kesadaran fonem, yang sebaliknya mempengaruhi kemampuan baca dan menjadikannya lebih mudah bagi anak-anak untuk mengenali kata-kata tertulis baik yang bersuara ataupun yang mirip (misalnya, cat dan at). Anak yang sedari kecil memiliki kemampuan phonemic awareness yang   baik dapat dipastikan kemampuan membacanya juga baik.
Phonologic Recoding. Alasan bahwa kesadaran Phonologis merupakan predictor untuk kemampuan baca awal adalah karena kemampuan baca awal yang secara umum melibatkan penyuaraan kata-kata. Proses phonologic recodingini merupakan dasar dari mayoritas program instruksi membaca di AS saat ini. Anak-anak diajarkan mendengar huruf dan mencoba mencocokkan antara huruf dan suara.
Kemampuan baca yang benar-benar fasih tidak dilakukan dengan menyuarakan setiap huruf namun dengan secara langsung mendapatkan arti keseluruhan kata dari memori (keseluruhan kata yang berdasar visual).
Kunci bagi kemampuan baca yang fasih adalah proses automatization(otomatisasi), yakni pemerolehan arti kata tanpa melakukan usaha (otomatis). Kemampuan mengakses arti kata, memperluas sumberdaya terbatas dari seseorang dalam proses ini sangat penting bagi kemampuan baca yang terampil. Ketika terlalu banyak sumberdaya mental digunakan hanya untuk mendapatkan arti kata individual, maka terlalu sedikit sumberdaya yang tertinggal untuk memenggal akta-kata dan memahami arti yang lebih besar dari suatu teks.
Pengajaran Membaca
Ada dua pendekatan penting pada instruksi membaca (reading instruction) dan komentar tentang bagaimana bukti penelitian dipertimbangkan dalam topik ini. Pada dasarnya (dan secara sederhana) instruksi membaca dapat dipikirkan sebagai, baik itu (1) proses bawah ke atas (bottom-up process), anak-anak mempelajari komponen-komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf [letter-sound correspondence]) dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh makna; atau (2) proses atas ke bawah (top-down process), tujuan, pengetahuan latar belakang, dan ekspektasi anak-anak menentukan  informasi apa yang dipilih dari teks. Proses terakhir ini merupakan suatu perspektif konstruktifis, mengingat kembali ide-ide Piaget. Tentu saja, membaca yang terampil melibatkan bottom-up dan top-down process, pembuatan tiap dikotomi artifisial. Namun demikian, reading instruction, terutama pada tingkat awal, sering menekankan satu terhadap lainnya, dan oleh karena itu dikotomi memiliki beberapa dasar dalam realitas.
Kurikulum yang menekankan bottom-up process ditunjukkan melalui metode fonik (phonics method). Di sini, anak-anak diajar korespondensi suara- huruf spesifik, sering kali independen pada tiap konteks “yang penuh makna”. Kurikulum yang menekankan top-down process ditunjukkan melalui pendekatan bahasa-menyeluruh (whole-language approach). Menurut Marilyn Adams dkk., “whole-language approach menekankan bahwa pembelajaran dilabuhkan pada dan dimotivasikan oleh makna. Selanjutnya, dikarenakan pemaknaan dan kepemaknaan yang penuh (meaningfulness) perlu didefiniskan secara internal dan tidak pernah melalui pernyataan (pronouncement), pembelajaran dapat efektif hanya pada seberapa jauh pembelajaran secara kognitif dikendalikan oleh siswa”. Oleh karena itu, kurikulum bahasa-menyeluruh (whole-language curricula) menekankan pada ketertarikan membaca (reading interesting) dan teks penuh makna (meaningful text) sejak dini. Ruang kelas di mana bahasa keseluruhan diajarkan, lebih cocok berpusat pada siswa (student centered) dibandingkan dengan berpusat pada guru (teacher centered), memiliki integrasi membaca dan menulis dalam keseluruhan kurikulum, memiliki penghindaran latihan bahasa, dan memiliki kesempatan kecil dalam hal pengelompokan kemampuan secara kaku.
Bukti penelitian yang didiskusikan semestinya membuat gamblang pentingnya pemrosesan level dasar (bottom-up) dalam pembelajaran membaca. Keterampilan fonologis merupakan prediktor tunggal terbaik kemampuan membaca (dan ketidakmampuan membaca). Kemampuan tersebut tidak berkembang secara spontan, dan biasanya mengeksplisitkan instruksi. Kurikulum yang mengabaikan phonics, mengabaikan tentang bagaimana “bermaknanya”phonics membuat pengalaman membaca, sedang meresikokan melek huruf pada kebanyakan siswanya.
Paradigma belajar Membaca Pada Anak TK: Pro dan Kontra Calistung
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar membaca. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di manaanak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada “larangan belajar calistung”, namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika membaca diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behaviorisme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun demikian pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini.  Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan, betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca dengan pendekatan tersebut.
Mengembangkan kemampuan para pendidik untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.
Metode Pengajaran Membaca Anak Glenn Doman
Ada dua faktor penting dalam Metode Glenn Doman ini adalah sebagai berikut :
  • Sikap dan pendekatan orang dewasa. Syarat terpenting adalah, bahwa diantara orang dewasa dan anak harus ada pendekatan yang menyenangkan, karena belajar membaca merupakan permainan yang bagus sekali. Biasakan anak membaca dengan suatu kegemaran, bisa dibuat permainan menarik untuknya
  • Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat. Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya.
  • Jangan pernah memaksa anak untuk belajar membaca tanpa kemauan dia sendiri.
Tahap Pembelajaran
1.Untuk tahap pertama, persiapkan kertas karton kaku warna putih dan spidol besar yang ujungnya rata (selebar satu sentimeter) berwarna merah. Selain itu, juga spidol ukuran 0,5 sentimeter warna hitam. Kertas karton digunting-gunting sepanjang 60 sentimeter dengan lebar 15 sentimeter, sediakan pula yang selebar 12,5 sentimeter.
2. Tuliskan kata di atas guntingan kertas karton dengan huruf kecil (bukan kapital), huruf yang sederhana dan konsisten. Untuk tahap pertama, buatlah 15 kata di atas 15 lembar karton, dibagi menjadi tiga. Misalnya, lima lembar pertama adalah nama-nama anggota keluarga (set A), lalu lima lembar kedua bertuliskan nama-nama organ tubuh (set B), sedangkan lembar ketiga bertuliskan nama-nama bunga (set C). Yang jelas, gunakan nama-nama yang tidak asing bagi dia, terutama nama benda yang sering anak jumpai setiap hari. Dengan demikian, anak akan lebih mudah mengingatnya.
Pada hari pertama belajar, hanya ditunjukkan lima lembar pertama (set A) kepada anak dengan membacanya, tiga kali sehari. Pada hari kedua, tunjukkan dan bacakan set A dan set B, juga tiga kali sehari. Sementara pada hari ketiga, bacakan set A, B, dan C selama tiga kali sehari. Pada hari keempat, lakukan seperti hari ketiga. Ini dilakukan terus sampai kartu-kartu terbaca 15-25 kali. Perlu diingat bahwa urutan kata harus sama dari setiap setnya. Agar tidak terjadi kekeliruan, setiap kertas bisa diberi nomor di sebaliknya, sehingga waktu kita menunjukkannya kepada anak urutannya tetap sama.

...lanjutkan baca...

Perkiraan Cuaca


Bogor, Indonesia Weather Forecast

Ikan Peliharaanku


Free SMS

Follow Saya

My Animal